Putri Sulistyowati: Model Indonesia Pertama Di Panggung London Fashion Week Sekaligus Pemilik Poetsoe Creative Space Dan Cafe

Putri Sulistyowati adalah model Indonesia pertama yang berhasil menembus arena mode internasional dengan melenggang di atas panggung London Fashion Week.
Sekembalinya ke Indonesia, ia mendirikan sebuah cafe sekaligus learning dan coworking space yang dinamakan Poetsoe Creative Space & Cafe.
Di sudut perumahan di wilayah Menteng Dalam, Jakarta Selatan, ada sebuah tempat serupa cafe unik bernuansa rumahan penuh warna-warna cerah yang menarik, dengan dekorasi dan desain vintage yang menghiasi tiap ruangan.
Siapa sangka bahwa sesungguhnya tempat ini bukanlah sekadar tempat nongkrong biasa, tetapi juga merupakan coworking space, yang juga menyediakan meeting room dan venue untuk event, selain tentu saja café.
Tempat ini bernama Poetsoe, yang disebut oleh pemiliknya sebagai creative space & cafe.
Pemiliknya tak lain adalah Putri Sulistyowati.
Faktanya, Putri adalah seorang arsitek sekaligus model Indonesia pertama yang berjalan di atas panggung runway London Fashion Week, dan hingga kini masih aktif berkiprah di dunia modelling.
Suasana Poetsoe yang hangat dan cerah bermandikan sinar matahari mengantarkan kami ngobrol santai dengan perempuan berkulit eksotis bertubuh tinggi semampai 178 cm ini.
Sejak kapan dan bagaimana ceritanya mengawali karir sebagai model hingga go international?
Jadi awalnya dulu tuh aku posturnya bungkuk banget, nggak pede sama sekali, termasuk orang yang sangat tinggi pada zaman itu, maksudnya aku belum ketemu dengan komunitas modelling atau model-model lain.
Nah dari situ ibuku tuh melihat, ini anak nggak bisa deh kaya gini terus, akhirnya aku diperkenalkan dengan modelling.
Lulus SMA aku masuk ke sekolah modelling, namanya OQ Modelling School.
Nah di situ tuh mulai terbuka matanya, mulai ketemulah dengan calon-calon model.
Jadi yang lulus dari situ tuh nggak necessarily sebenarnya jadi model, tapi itu kan pengembangan diri, maksudnya kaya basic manner, terus kaya gimana caranya kita duduk, dandan, mungkin berkomunikasi dengan orang, membawa diri.
Jadi di situ tuh lebih diajarin kaya gitu.
Kalau jadi model itu bonus, tapi kebetulan memang kata guru-gurunya aku punya potensi dan ini harus lebih diperkenalkan biar aku tuh juga jadi lebih pede dan lebih berani untuk mengambil langkah itu.
Lulus sekolah modelling mulailah tuh nyoba ikut casting-casting fashion show kaya buat Esmod, atau Lasalle, Raffles.
Nah kebetulan ada kaya namanya modelling scouter, adalah orang yang mencari kita (calon model) untuk ditarik ke agency modelling gitu.
Akhirnya aku masuk ke Look Models yang memang pada masanya cukup jaya sih.
Di situ aku belajar dan mencoba menerapkan apa yang sudah diajarkan di sekolah modelling dan juga di agency untuk jadi model profesional.
Di tahun 2010 aku langsung dapat shownya Biyan.
Habis dari situ langsunglah mulai dikenal-kenal lagi masuk ke Jakarta Fashion Week, Bazaar Fashion Concerto, Indonesia Fashion Week, dan berlanjut lagi ke fashion show lainnya.
Jadi selama empat tahun di Indonesia dari 2010 sampai 2014 aku juggling tuh sama modelling, plus kuliah arsitektur.
Jadi kebetulan memang saat itu orangtua tuh udah melepaskan aku untuk mandiri dan cari uang jajan sendiri.
Tapi intinya adalah bertanggung jawab atas apa yang kita terima, karena kita bertanggung jawab untuk kerja juga kuliah juga dan di saat yang bersamaan aku benar-benar nggak mau ninggalin yang namanya kuliah.
Tahun 2014 aku memutuskan pindah ke Inggris untuk S2.
Kenapa pengen S2 di Inggris, sebenarnya simpel sih, karena pengen keluar dari Indonesia dan justru bukan karena belajarnya aja, tapi pengen mencoba modellingnya.
Nah, kesempatan inilah yang bisa membawa aku untuk menjalani keduanya. Di sini juga aku diultimatum nggak dikasih uang jajan, ya udah berarti harus bisa nih dua-duanya.
Awalnya masih dibantu, tapi lama-lama tahun berikutnya udah benar-benar mandiri, jadi ini juga membuat aku lebih fight sama diri sendiri sih, gimana caranya badan harus tetap prima, terus harus bisa memenuhi standar di Inggris untuk bisa berlangsung hidup.
Karena di sini sulit banget dan apalagi mahal kan.
Nah alhamdulillah di London, dari awal banget aku nyampe, landing, itu langsung beberapa hari kemudian jalan buat London Fashion Week untuk satu show.
London Fashion Week itu ada dua season, fall sama summer, jadi setahun ada dua kali.
Karena aku satu setengah tahun di sana, jadi ikut tiga season, diselingi sehari-harinya casting, foto, lalu fashion show yang internal kaya buat di show room suatu brand lumayan reguler, jadi itu bisa nih buat nutupin uang jajan aku.
Jadi sebelum pindah ke Inggris, aku tuh iseng kirim email ke salah satu agency di London yang menurut aku cocok, namanya FM London pada saat itu, sekarang namanya The Squad Management.
Terus mereka minta aku datang ke kantor mereka, itu belum tentu diterima sih, maksudnya itu kaya walk in interview sih jatuhnya.
Terus pas ketemuan di sana, mereka mau jadi mother agency aku yang kemungkinan bisa membantu aku untuk ke negara lain, mungkin kaya Paris, Australia dan segala macam.
Tapi karena aku bilang lagi sekolah, jadi kalau ke luar agak susah, pertimbangannya harus di London, atau nggak, mungkin somewhere in the UK masih oke lah.
Dari situ mulai ternyata kedengaran juga nih sampai Indonesia, karena kaya ada yang interview aku juga, mereka bilang aku satu-satunya model Indonesia pertama yang jalan di London Fashion Week, karena sebelumnya belum ada.
Jujur, kalau kita ngomongin badan atau mungkin tipe kulit, kulitku tuh agak susah karena kan aku tan, Southeast Asian di sana itu belum ada yang bisa nembus.
Paling yang bisa nembus Philippines, tapi mereka kan fair skin.
Jadi untuk aku nyoba awal-awal tuh sebenarnya gambling banget, tapi untungnya ternyata diterima aja sih, dan mereka kaya willing to take the risk karena katanya aku unik banget.
Jadi, somehow di sana I feel appreciated like lebih dari apa yang kaya aku harapkan sih sebenarnya.
Selama berkarir di luar, pernah ada pengalaman tidak mengenakkan dari agency atau teman sesama model?
Surprisingly nggak sih.
Karena agency di sana tuh sangat encouraging gitu lho.
Bahkan mereka tuh sangat memperhatikan kita, kalau misalnya kita lagi capek atau kita lagi kaya kurang fit, pasti ditanya kenapa.
Benar-benar mother agency as a mother gitu lho.
Jadi kita cerita dan mereka bisa kasih break kalau misalnya kita lagi capek, suntuk atau lagi banyak tugas, jadi kita balik lagi ketika kita merasa udah siap buat kerja.
Mereka nggak ada pressure di sini, jadi kita juga senang dong, berarti mereka ngertiin banget ya.
Kalau misalnya aku lagi capek ya mereka nggak maksain aku untuk kerja juga.
Jadi mau gimana pun mereka tuh benar-benar consider our self as their children juga.
Jadi kita ngerasa benar-benar diperhatiin, terus nggak sendirian.
Mungkin beda-beda agency mereka punya goal masing-masing, dan kebetulan ini kenapa aku milih FM pertama kalinya karena mereka sangat sangat kekeluargaan dan nggak nge-push kita untuk kaya romusha, kerja terus gitu, nggak sih.
But do you know kalau orang Inggris nggak akan pernah obvious kalau misalnya mereka rasis. Mereka rasis pasti di belakang.
Haha…Mereka pasti two face gitu.
Jadi kesannya memang kayanya mereka baik terus, tapi kita nggak tahu di belakangnya gimana. Haha…
Ini pengalaman setelah selama setahunan aku tinggal di sana.
Ternyata mereka bilang bagus, senang, belum tentu sebenarnya secara realita seperti itu.
Mereka just being nice aja, gitu.
Apa saja perbedaan dalam dunia modelling antara di Indonesia dan di luar?
Jadi kalau di Inggris itu it’s all about efficiency.
Jadi kita itu dibayar berdasarkan per jam, makin lama pasti makin mahal.
Fashion show aja kita pun maksimal empat jam, sehingga kita bisa attend another show yang kita bisa kerjain lagi, atau mungkin kita bisa foto sorenya.
Jadi mereka pasti sangat sangat memikirkan waktu untuk model, jangan sampai lewat nih, karena kita benar-benar ngontrak mereka cuma empat jam, itu udah termasuk hair, makeup, GR, show, lunch, misalnya kaya gitu.
Nah kalau di sini, mungkin berpengaruh sama budaya juga ya, jadi banyak orang yang antisipasi telat, modelnya kabur, atau mungkin gimana.
Jadi mereka prefer untuk nge-book kita seharian, even GR misalnya jam 6 pagi, shownya mungkin jam 8 malam, jadi kita benar-benar di-book seharian penuh.
Ya perbedaan sistem aja sih sebenarnya, kaya time management-nya itu memang beda.
Terus di luar itu, mau model senior, mau model junior yang baru, itu semuanya disamaratakan, dalam artian desainer akan casting ulang, akan ngukur ulang.
Ya kalau misalnya udah senior, udah kenal, tapi nggak memenuhi syarat, kriteria atau standar, mereka sorry to say nggak bisa ikut show, it’s professional gitu lho.
Nah, kalau di sini kan banyak yang misalnya kalau udah kenal langsung dipakai karena udah biasa.
Paling yang kaya gitu sih, perbedaannya lebih ke cara, time management, pembagian waktu, sama tipe show.
Dari sekian panggung runway / photo shoot, mana yang paling berkesan?
London Fashion Week pastinya.
Simpel sih, walaupun cuma di gedung gereja yang di-convert menjadi semacam hall gitu, that’s what I like about England, jadi nggak totok itu misalnya kaya gereja digunakan untuk misa doang, tapi itu tempat umum untuk orang bisa nonton, screening film atau mungkin ada bazar, jadi itu sangat versatile.
Dan temanya kan udah kuat ya, maksudnya keren dan ternyata nggak ada tuh yang tempat duduk yang kaya gitu, jadi udah semuanya kosong, tinggal kita kaya runway di situ aja, seru banget.
Pesan / saran apa yang bisa dibagikan untuk calon model yang ingin go international?
Yang pertama pasti berani sih, dan modal berani itu gimana, ya you have to know yourself first gitu, apakah kamu benar-benar punya potensinya atau tidak.
Kamu bisa memenuhi kriteria atau standar apa tidak.
Banyak-banyakin referensi, karena sekarang referensi model juga udah banyak banget ya di internet, models.com, atau macam-macam lah ada di social media, jadi bisa sebenarnya perkaya ilmunya untuk melihat model tuh di luar kaya apa sih, pasarnya New York gimana, London, Paris, Milan kaya gimana, dan itu semua pasarnya beda-beda.
Saingannya siap-siap akan banyak banget, karena apalagi kalau casting, London Fashion Week itu kurang lebih tiga atau empat hari sebelum show, dan yang sehari casting tuh bisa kaya lima sampai sepuluh casting, dan itu berarti model dari seluruh dunia berkumpul di satu kota.
Makanya untuk dipanggil casting itu perlu adanya agency, karena hanya agency yang bisa provide informasi itu, dan biasanya karena udah banyak banget model, si casting director itu pasti udah milih sebenarnya dari siapa yang available, dipanggil, itu juga belum tentu diterima tapi udah difilter jadi nggak open casting kaya tiba-tiba datang gitu nggak bisa sama sekali.
Jadi makanya memang harus tahu mereka tuh pasarnya apa, tipe modelnya seperti apa.
Kalau misalnya sorry to say height atau tingginya nggak nyampe, boleh coba berpikir ulang apakah beneran mau nyoba di luar, karena memang di luar itu kan minimum kurang lebih 175 cm.
Jadi harus realistis juga, kalau misalnya emang nggak nyampe ya kenapa harus dipaksakan, mungkin malah lebih cocok sinetron di sini, atau mungkin iklan di Thailand, atau mungkin di mana, nah ini kan tingginya beda lagi nih kalau commercial sama fashion.
Terus berat badan gimana, otomatis kita itu harus ngikutin baju.
Baju nggak bisa ngikutin kita karena di sana nggak bisa di-alteration.
Baju itu nggak akan disesuaikan dengan ukuran kita, kita yang harus ngikutin, kalau kita nggak fit ya udah bye bye, jadi nggak show.
Kalau di sini kan masih tuh, kaya dikecilin dikit atau digedein sedikit deh sesuai badan modelnya.
Kalau di sana no, there’s no time, karena empat hari sebelumnya, ya udah yang muat, jalan.
Nah, bedanya di situ, kalau di sini ditanya soal berat badan berapa, kalau di sana nggak pernah ditanya, as long as you’re lean, fit the measurements, it’s all good.
Jadi memang fisik mau tidak mau di sana sangat sangat penting sih, dan try to take it bukan sebagai body shaming juga sih, karena ya if you decided to be a model then you have to prepare yourself mentally and physically, dan mentalnya udah mental baja aja, kaya bodo amat deh gitu.
Kalau fisiknya udah ok, terus warna kulit atau ras, mau nggak mau kita pasti mikir, ras aku diterima nggak ya di sana, cocok nggak sama pasar sana.
Jadi memang harus banyak banyak riset, dan ask yourself and ask your surroundings.
Kalau memang nggak, menurutku jangan dipaksakan.
Kalau memang bisa, harus dimaksimalkan dari sini, karena ketika di sana mereka udah nggak ada waktu untuk grooming, developing, udah harus jadi.
Karena time is money for them, dan mereka kaya spending a lot for, I don’t know, maybe some models’ visa, untuk tiket, jadi kalau bisa udah langsung casting dan show, karena mereka keluarin uang duluan kan, dan mereka ngutang dulu ke agency mereka sendiri, dan sebagai model ya kita harus kalau bisa balikin langsung dengan langsung show, jadi nggak ada wasting time banget di sana.
“If you decided to be a model then you have to prepare yourself mentally and physically.”
Usai ngobrol dengan Putri tentang dunia modelling, saatnya mengulik tentang Poetsoe yang didirikan sekembalinya ke Indonesia setelah menyelesaikan studi S2-nya.
Berbekal ilmu arsitektur yang dimiliki dan sempat mengajar pula sebagai dosen di almamaternya Universitas Trisakti, serta pengalaman terlibat di Indonesian Heritage Trust membuatnya berpikir apa yang bisa dilakukan untuk lingkungan sekitar yang sesuai dengan passionnya.
Mengaku bukan orang yang suka bekerja sebagai karyawan, ditambah momen di mana saat hamil pun kegiatan modelling turut terhenti sementara, maka tercetuslah ide untuk merombak sebagian area rumah orangtuanya yang terbengkalai untuk dimanfaatkan sebagai café, hingga lahirlah Poetsoe di akhir 2016.
Fungsi awal Poetsoe sebenarnya sebagai ruang publik untuk penghuni kos-kosan yang dimiliki oleh orangtua Putri sehingga saat ada tamu mereka tak perlu masuk ke kamar, sekaligus bisa sebagai tempat makan karena di sekitar tak terdapat warung makan kaki lima yang mudah ditemui.
Seiring antusiasme yang baik dan juga berawal dari permintaan beberapa pelanggan, Putri mulai berpikir untuk mengembangkan Poetsoe menjadi tempat yang tak sekadar café, melainkan juga bisa digunakan untuk ruang belajar dan bekerja, apalagi saat itu tren coworking space juga mulai merebak di Jakarta.
Maka pada pertengahan 2017, fungsi Poetsoe pun bertambah selain café menjadi creative space di mana pengunjung bisa memanfaatkan dan menyewa ruangan yang tersedia di dua lantai untuk bekerja, meeting, atau bahkan mengadakan suatu event serta menjadi wadah komunitas.
Dekorasi dan desain interior Poetsoe yang warna-warni dan seru tentu saja tak lepas dari campur tangan Putri sendiri.
Ia sengaja membangun Poetsoe dengan konsep yang santai, homey dan jauh dari kesan kantor agar pelanggan merasa nyaman saat bekerja, dengan tanam-tanaman hijau di tiap sudutnya berikut beberapa bean bag untuk sekadar melepas penat.
AC hanya tersedia di meeting room dan class room yang tertutup, sedangkan untuk area café berada di ruangan terbuka tanpa penerangan dari lampu saat siang hari, hanya benderang sinar matahari yang menyinari seluruh area dan air fan untuk menyejukkan udara.
Kondisi ini menurut Putri justru tak jadi masalah bagi para pelanggan karena mereka malah ingin menikmati suasana yang segar dan alami.
Kapasitas Poetsoe sendiri total bisa menampung kurang lebih 80 orang.
Tetapi Putri tidak akan menerima acara yang membutuhkan penggunaan seluruh ruangan dengan alasan ia lebih memprioritaskan kenyamanan pelanggan yang datang ke Poetsoe untuk belajar atau bekerja ketimbang memenuhi permintaan full booking seluruh ruangan demi mengejar omzet.
Bicara mengenai café Poetsoe, berbeda dengan café atau coffee shop yang kebanyakan menyajikan hidangan western, menu-menu yang tersedia di sini adalah makanan rumahan sederhana khas Indonesia di antaranya seperti nasi rawon, nasi soto, pecel sayur, pecel ayam, dan best seller-nya yaitu nasi bakmoy (akan kami bahas nanti).
Metode memasaknya pun sangat rumahan, tanpa menggunakan vetsin / MSG, dengan pengawasan langsung dari ibunda Putri sendiri demi menjaga cita rasa dan mutu serta menjamin kebersihan dan kesehatan bahan-bahannya juga.
Untuk menu minumannya, Poetsoe punya beragam kopi seperti kopi hitam dan kopi susu angus yang merupakan best seller, di mana pembuatan minuman ini menggunakan alat-alat sederhana yang biasa dimiliki orang-orang di rumah.
Karena sesuai tag line yang diusung oleh Poetsoe, “A home for everyone”, Putri ingin membawa suasana rumah ke dalam café, sehingga sebisa mungkin membuat orang merasa seperti di rumah sendiri.
Di tengah maraknya café dan coffee shop yang kian menjamur di Jakarta, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Poetsoe untuk bisa mempertahankan eksistensinya.
Putri mengatakan bahwa Poetsoe berangkat dari sejarah yang menurutnya cukup kuat karena tempat ini merupakan rumah orangtua yang disulap sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi orang-orang di sekitar.
“Bohong pasti kalau kita ngomong kita nggak mikirin omzet atau penjualan.
Tapi kita lebih memikirkan kualitas dan kenyamanan orang-orang di sini sebenarnya, dan Poetsoe itu sebenarnya tidak bersaing dengan siapa-siapa karena kita itu berdiri sendiri.
Creative space dan café bertema rumahan itu kan bisa dibilang di Jakarta nggak ada sih sebenarnya, kalau menggabungkan dua itu ya, karena sejauh ini feedback yang saya dapat dari orang-orang adalah, saya baru pertama kali ke coworking space atau creative space yang rumahan, cuma di Poetsoe doang.
Jadi saya rasa keaslian atau keotentikan dari tema rumah ini sendiri tuh tetap harus dipertahankan.
Walaupun ini tidak akan menjadi everyone’s cup of tea karena pasarnya sendiri berbeda, mungkin bukan dari kalangan menengah ke atas atau eksklusif, it’s ok, tapi pasarnya Poetsoe adalah mahasiswa, anak SMA, pencari kerja, orang-orang startup juga, dan kebetulan memang cukup masuk di kantong mereka banget kan untuk harganya, sewa ruangan, harga makanan.
Jadi dengan tema kerumahan dan penggabungan fungsi antara creative space dan café ini harus tetap bersatu dan kalau bisa harus berkembang.
Tema kerumahan ini memang tidak semuanya menggandrungi sebenarnya, tapi tetap ada pasarnya, dan itu I think for me it’s more than enough.”
Oke, tiba saatnya kami mencicipi menu best seller di Poetsoe, yaitu nasi bakmoy, nasi pecel sayur, berikut minumannya yaitu es kopi susu angus dan teh poci.
Nasi pecel sayur
Sajian sederhana dengan sayuran lengkap segar seperti kangkung, tomat, tauge, kol, kacang panjang, plus kerupuk dan telur ceplok dengan tekstur favorit kami, tak terlalu kering dengan kuning telur yang meleleh saat dibelah.
Sayuran pada nasi pecel ala Poetsoe ini semuanya dalam keadaan segar, meski direbus namun tak tampak terlalu layu dan berubah warna.
Rasa pedas bumbu kacangnya juga pas, tidak terlalu menggigit lidah.
Nasi bakmoy
Makanan segar berkuah ini mirip soto kudus dengan kuah yang bening, berisi telur, daging dan serpihan tahu yang disemur.
Rasanya perpaduan gurih dan manis namun ringan dan segar apalagi kalau disantap saat masih hangat.
Es kopi susu angus
Salah satu best seller di Poetsoe ini sebenarnya adalah kopi susu yang dibuat dengan proses manual brew hingga menghasilkan aroma kopi yang sangat terasa.
Tenang saja, tidak ada rasa hangus kok di dalamnya, itu hanya istilah untuk menggambarkan proses pembuatan kopinya.
Kopi dingin nan creamy ini sedap disesap siang hari saat cuaca panas dan kita butuh sejumlah kafein pengusir suntuk.
Teh poci
Jenis minuman yang satu ini tentu sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia.
Siapa yang tak tahu teh poci, minuman khas asal Tegal dan sekitarnya ini diseduh di dalam poci tanah liat dan disajikan dengan gula batu.
Di Poetsoe sendiri, sajian teh poci terasa sangat vintage, dengan poci tanah liat khas bertuliskan Tegal Bahari, lengkap dengan cangkir dan wadah gula batu terbuat dari kaleng yang mengingatkan saya akan benda-benda jadul di rumah nenek.
Jika Anda menggemari suasana rumahan untuk bekerja sekaligus mencari makanan yang tidak neko-neko, barangkali Poetsoe adalah tempat yang tepat untuk Anda.
Bocoran dari Putri, akan ada menu baru sejenis kudapan yang terinspirasi dari camilan favorit keluarganya sejak kecil.
Lalu Poetsoe juga sedang membuat program promo diskon untuk sewa ruangan meeting.
Untuk tahu lebih banyak tentang spot kece di Poetsoe, silakan lihat detail di bawah ini.
—
Poetsoe Creative Space & Cafe
Jl. EE 52 RT 10/ RW 01
Menteng Dalam, Jakarta Selatan
+62811-886-8127
poetsoe
poetsoecreativespace
Monday – Sunday 9:00 AM – 9:00 PM
Leave a Comment
No Comments
There are no comment for this article yet. Be the first one to post a comment!